PENDAHULUAN
Partisipasi warga
negara adalah hal mendasar dalam demokrasi, dan hal
inilah yang menjadi
landasan pelibatan orangtua dan masyarakat dalam
pendidikan. Demokrasi
itu sendiri adalah bentuk tata kelola sistem atau
pemerintahan yang
memberikan ruang bagi setiap individu baik langsung maupun
melalui perwakilan
untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
yang kelak
mempengaruhi hidupnya (Grant, 1979: 117). Sehubungan dengan hal
tersebut berikut ini
disajikan uraian mengenai suatu bentuk praktek demokrasi
dalam pendidikan
yakni kemitraan orangtua, sekolah, dan masyarakat.
KESEJAJARAN
PERAN ORANGTUA, SEKOLAH DAN MASYARAKAT
DALAM
PENDIDIKAN
Comer dan Haynes
(1997) mengatakan anak-anak belajar dengan lebih baik
jika lingkungan
sekelilingnya mendukung, yakni orangtua, guru, dan anggota
keluarga lainnya
serta kalangan masyarakat sekitar.. Sekolah tidak dapat
memberikan semua
kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan siswa, sehingga
diperlukan keterlibatan
bermakna oleh orangtua dan anggota masyarakat. Hal ini
sangat masuk akal
mengingat sebetulnya orangtua, guru dan masyarakat memiliki
kesempatan untuk
mendiskusikan sejauhmana kemajuan anak. Seiring dengan
masyarakat yang
semakin kompleks dan penuh tuntutan, maka kebutuhan untuk
bermitra seringkali
dikesampingkan. Alasannya baik pendidik maupun orangtua
tidak memiliki waktu
yang cukup untuk bertemu dan membangun hubungan yang
baik dalam rangka
kemajuan si anak.
Sementara ini
masyarakat telah menciptakan bias pembagian peran antara
orangtua dan guru.
Kita terbiasa dengan pandangan bahwa sekolah harus
menangani anak dari
sisi akademik, sedangkan keluarga mengurusi masalah moral
dan perkembangan
emosional anak. Padahal, anak juga belajar mengenai masalah
moral dan emosi dari
apa yang dijumpainya di ruang kelas. Begitu juga ketika
mereka berada di
tengah-tengah masyarakat, sesungguhnya mereka juga
mengamati sikap-sikap
orang dewasa.
Permasalahan awal
yang harus dipahami adalah bahwa orangtua yang
menyekolahkan anaknya
rata-rata memiliki hubungan yang kurang kuat dengan
sekolah. Banyak dari
mereka yang merasa segan untuk membangun hubungan itu,
terlebih bagi mereka
yang memiliki latar belakang pengalaman tidak menyukai
sekolah ketika masih
bersekolah dulu. Adapun guru hanya bekerja dan tidak tahu
banyak tentang
lingkungan sekitar sekolah. Jadi, sebelum ketiga komponen ini
membentuk kemitraan,
baik guru, keluarga, maupun masyarakat pertama-tama
harus belajar percaya
dan menghormati satu sama lain.
Kerjasama antara
guru, orangtua, kalangan bisnis, dan anggota masyarakat
lainnya dalam bentuk
mitra penuh berpeluang besar dalam menciptakan program
pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhan lokal yang unik sekaligus
menggambarkan
keanekaragaman di dalam sekolah. Jadi, mereka dapat membawa
iklim sekolah yang
baik karena menghargai dan menanggapi adanya perbedaan
dan kesamaan di
antara siswa. Dengan kata lain partisipasi yang dicita-citakan
adalah partisipasi
sehat.
Beragam kerjasama
dilakukan oleh sekolah dengan berbagai pihak. Menurut
Keith & Girling
(1991: 256-259), bentuk hubungan antara sekolah dengan para
stakeholdernya
terbagi menjadi tiga model. Model pertama adalah profesional,
kedua yaitu advokasi,
dan ketiga ialah kemitraan. Model Kemitraan mengandung
pembagian tanggungjawab
dan inisiatif antara keluarga, sekolah dan masyarakat
yang ditujukan pada
pencapaian target kependidikan tertentu. Model ini berbeda
dengan dua model
lainnya. Model profesional mengandalkan pada layanan
pegawai sekolah dan
para pakar, sehingga hubungan yang terjalin dengan pihak
orangtua atau
masyarakat umumnya hanya satu arah. Adapun model advokasi
terkesan lebih
mendudukkan dirinya sebagai usaha oposisi terhadap kebijakan
pendidikan pada
umumnya dan sekolah pada khususnya.
Model kemitraan mengandalkan
pada kepentingan pribadi orangtua dan
anggota masyarakat
yang mau tidak mau membuat mereka berpartisipasi dalam
aktivitas yang
berkaitan dengan sekolah. Kemitraan memandang semua pihak
yang memiliki
kepentingan terhadap sekolah merupakan pihak yang dapat
didayagunakan dan
mampu membantu sekolah dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan, sehingga
jejaringnya begitu luas atau dengan kata lain hampir semua
orang; siswa,
orangtua, guru, staf, penduduk setempat, kalangan pengusaha, dan
organisasi-organisasi
lokal. Kemitraan memang menitikberatkan pada keterlibatan
yang dilandasi oleh
kepentingan pribadi, sehingga ketika orangtua terlibat dalam
pengambilan keputusan
sebenarnya yang melandasi adalah kepentingan anak dari
orangtua
bersangkutan.
Mitra sekolah selain
orangtua adalah masyarakat, dan berkenaan dengan itu
Kowalski (2004: 41)
menyebutkan alasan kuat perlunya sekolah menjalin
kemitraan dengan
masyarakat, yakni sebagai berikut:
1. Masyarakat telah
membayar pajak untuk terselenggaranya pendidikan
2. Kebanyakan
komunikasi sekolah dan masyarakat dilakukan satu arah, sehingga
ada informasi dari
masyarakat yang tidak sampai ke sekolah
3. Pendekatan
informal cenderung kurang efektif dibandingkan dengan cara yang
lebih sistematis
4. Masyarakat terdiri
atas keberagaman
Dengan demikian tidak
beralasan lagi mendudukkan sekolah sebagai satusatunya
pranata sosial yang
bertanggungjawab atas tumbuhkembangnya sesosok
individu. Ada dunia
di luar sekolah yang juga memberi kontribusi akan hal itu,
dan implikasinya harus
ada pensikapan positif dari orangtua dan masyarakat untuk
melakukan kerjasama
terutama dalam menselaraskan nilai dan pengetahuan siswa
dan dukungan
penyelenggaraan pendidikan yang dinyatakan dalam bentuk
partisipasi
pendidikan.
MEMBANGUN
KEMITRAAN ORANGTUA, SEKOLAH DAN
MASYARAKAT
Pada sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Bauch dan Goldring (1995: 16-
17), dikemukakan
adanya implikasi berupa kurang baiknya pengkondisian
lembaga dengan nuansa
birokratis jika kita bermaksud mengundang lebih banyak
partisipasi orangtua.
Nuansa ini tercermin dari adanya ukuran sekolah yang terus
menerus bertambah
besar, semakin peliknya kurikulum, pembedaan siswa, dan
terdapat konflik
antara staf sekolah dengan pihak eksternal yang mengarah pada
masalah akuntabilitas
lembaga. Model yang disarankan Bauch dan Goldring untuk
dikembangkan adalah
model komunitarian, yakni model yang mengedepankan
keeratan sosial di
antara siswa, orangtua, dan sekolah dengan didasarkan atas
nilai, kepercayaan
dan harapan yang sama, pengorganisasian kurikulum yang
sederhana, tidak
adanya pembedaan siswa, dan ukuran yang tidak terlalu besar.
Membangun kemitraan
dengan orangtua menurut Molloy, dkk (1995 :62)
dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut :
1. Memulai kemitraan
Sekolah selaku pemicu
awal kemitraan memulai dengan menganalisis
kebutuhan baik siswa,
orangtua maupun sekolah. Kesamaan atau kesejalanan
kebutuhan diantara
ketiga pihak tersebut adalah latar belakang yang baik untuk
memulai kemitraan.
Sekolah dalam tahapan ini juga perlu menelusuri informasi
tentang kemitraan
yang pernah dilakukan sebelumnya antara sekolah dan
orangtua, sehingga
dapat menjadi acuan pada kegiatan selanjutnya. Informasi
lain yang perlu
diketahui pihak sekolah adalah mengenai potensi orangtua
sebagai mitra
sekolah. Potensi yang dimaksud bisa dari berbagai sudut
pandang, antara lain
ekonomi, pekerjaan, keahlian dan pengalaman,
kepentingan, minat,
kegemaran, dan lain sebagainya.
2. Membangun
kemitraan
Pola persuasif
menjadi pilihan yang utama dalam mengundang perhatian
orangtua akan
permasalahan kenakalan anak. Kemasan yang informal juga
menjadi cara jitu
untuk membangun kemitraan antara sekolah dan orangtua
sebelum mengarah
kepada bentuk kegiatan yang formal. Efektivitas kemitraan
sekolah dan orangtua
dalam membangun kemampuan sosial anak akan lebih
dipertajam dengan
hadirnya fasilitator yang berkeahlian dan bersifat netral,
misal pakar
pendidikan tinggi dan praktisi. Kemitraan bahkan dapat diperluas
menjadi sebuah
jaringan dengan melibatkan bagian – bagian masyarakat, misal
unit pelayanan
publik, media lokal, perusahaan komersil, wadah pelatihan.
Tempat yang
dipergunakan pun tidak hanya sekolah, contoh antara lain berupa
perpustakaan publik,
rumah sakit, kegiatan bazaar, pameran daerah, karnaval,
museum, kantor
polisi, dan lain sebagainya.
Merajut jaringan
kemitraan memang tidak dapat dikatakan mudah, namun
demikian dampak dari
keberadaannya tidak dapat dianggap sepele karena bisa
menghadirkan dukungan
bagi sekolah yang lebih luas
(http://www.nwrel.org/request/feb01/networking.html,
2001). Pihak – pihak
yang dilibatkan
antara lain komite sekolah itu sendiri, pemimpin agama, mitra
bisnis, organisasi
publik, LSM dan organisasi lainnya, dan tokoh komunikasi.
3. Mengembangkan visi
bersama
Pihak sekolah maupun
orangtua bersama – sama merancang visi yang dalam
hal ini dimisalkan
berupa pencegahan kenakalan anak. Kedua pihak berpikir
tentang tujuan yang
hendak dicapai dan cara apa yang dilakukan guna
meraihnya. Dari
tuangan pemikiran tersebut diharapkan munculnya rasa
tanggungjawab akan
pelaksanaan, keberlangsungan, dan keterkaitan kegiatan.
4.
Mengimplementasikan perencanaan ke dalam tindakan kolaboratif
Sebagai kegiatan
kolaboratif, maka keterlibatan semua pihak sangat
diperlukan. Sebagai
contoh tujuan sebuah kegiatan yang berupa memperkuat
hubungan anak dan
orangtua melalui peningkatan keterampilan komunikasi,
maka secara
implementatif aktivitas yang dilaksanakan harus dapat menunjuk
secara nyata
interaksi antara anak dan orangtua, misal perlombaan antara
keluarga siswa dan
lokakarya pola asuh anak yang melibatkan orangtua dan
siswa sebagai
peserta. Contoh lain semisal upaya membangun citra diri anak di
tengah - tengah
masyarakat. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan
mengajak anak dan
orangtua mengunjungi rumah sakit, museum, perpustakaan,
kantor polisi, dan
lain sebagainya.
Di sisi lain Grant
(1979: 128) mengingatkan bahwa kemitraan tidak boleh
mengabaikan prinsip
akuntabilitas dan kemandirian. Dalam hal menumbuhkan
kemandirian, secara
eksplisit Grant menganjurkan agar setelah terbentuknya
kelompok kemitraan
masing-masing anggota harus menjaga kenetralan khususnya
dalam segi politik.
Kemandirian finansial juga menjadi penekanan dalam hal ini,
dan meskipun ada
bantuan dari pihak lain, kelompok kemitraan wajib memegang
teguh prinsip
akuntabilitas.
Terbentuknya kelompok
kemitraan dalam iklim demokratis pastilah
memiliki latar
belakang pemihakan terhadap kaum yang lemah. Untuk itu White
dan Wehlage (1995:
37) mengungkapkan daripada memulai kolaborasi yang
menekankan pada profesionalisme
dan program, sebaiknya lebih memilih untuk
mengawalinya dengan
strategi politis mengajak pihak atau lembaga lain memihak
kepada kepentingan
kaum lemah. Dengan demikian sumberdaya yang ada
otomatis akan lebih
banyak berada di golongan masyarakat yang kurang
beruntung.
KEGIATAN
KEMITRAAN ORANGTUA, SEKOLAH DAN
MASYARAKAT
Umumnya kegiatan
kemitraan adalah berupa penyediaan sumber daya dan
sumber dana
pendidikan, pendampingan pengerjaan tugas, dan dukungan
langsung di ruang
kelas bersama guru. Jika diklasifikasikan, ada dua bidang
partisipasi orangtua,
yaitu akademik dan non akademik. Anderson (1998: 589)
dalam parent
involvement (1993) menyatakan contohnya sebagai berikut:
1. Tata kelola
sekolah dan pengambilan keputusan.
2. Penataan untuk
terciptanya pemerataan kesempatan pendidikan dan standar
mutu tertentu.
3. Kurikulum dan
implementasinya di kelas.
4. Bantuan terhadap
PR atau tugas lainnya.
Interaksi dapat
dijalin melalui pertemuan langsung (tatap muka), di sekolah,
di rumah, atau bahkan
di tempat kerja orangtua, asalkan tempat yang dipilih
merupakan lokasi yang
nyaman bagi kedua belah pihak. Kegiatan seperti ini
kiranya dapat
dipertimbangkan sebagai bagian integral dengan kegiatan sekolah
lainnya, sehingga ada
pengaturan alokasi waktu yang memperhatikan pula jam
kerja pegawai pada
umumnya. Komunikasi yang dijalin juga hendaknya disadari
sebagai bagian
penting dari pola pengasuhan, sehingga orangtua berkomitmen
untuk bertemu dengan
guru secara rutin di waktu-waktu yang telah ditentukan.
Di negara maju,
kemitraan antara masyarakat, sekolah dan keluarga
dibangun secara
formal. Kelompok atau dewan kemitraan ini didirikan untuk
menciptakan
komunikasi yang lebih erat di antara orangtua/keluarga, sekolah dan
masyarakat. Mereka
bertemu sebulan sekali tepatnya hari selasa di minggu kedua.
Mereka mengingatkan
dan mengundang orangtua akan peringatan hari-hari
nasional atau
kegiatan lainnya yang yang membutuhkan partisipasi mereka
sebagai orangtua,
contohnya kegiatan palang merah dan HUT kemerdekaan..
Orangtua dan sekolah
juga diingatkan untuk menjalin hubungan yang baik dengan
kalangan masyarakat
khususnya tokoh masyarakat senior, wujud nyatanya adalah
mereka memiliki nama
dan alamat lengkap penduduk-penduduk bersangkutan.
Contoh kegiatan
kemitraan lainnya adalah sebagaimana dikemukakan dalam
http://www.saferbridgend.org.uk/current_activities/coychurch_llangrallo_primary
_school_participates_in_walk_to_school_week,
2007. Orangtua, sekolah dan
pihak kepolisian
bermitra dengan cara mengadakan pembelajaran tentang
keterampilan berjalan
di sekitar lalu lintas dengan aman. Metode yang ditempuh
adalah anak-anak
diminta berbaris dan berjalan mulai dari sebuah persimpangan
sampai tiba di
sekolah, sedangkan orangtua yang menyertai berjalan pada barisan
yang khusus untuk
para orangtua. Sepanjang perjalanan ada polisi dan guru yang
mendampingi dan
memberikan pelajaran tentang keterampilan tersebut. Ide ini
sangatlah baik
mengingat tidak hanya memberikan pengetahuan penting tentang
bagaimana berjalan di
sekitar jalan raya yang riskan bagi anak-anak namun juga
mentransfer kesadaran
anak-anak untuk hidup sehat dan bugar melalui berjalan
kaki. Kiranya ini
bisa menjadi alternatif cara membuat lingkungan luar sekolah
menjadi tempat yang
lebih aman bagi anak-anak sekolah dan masyarakat sekitar.
TANTANGAN
DAN HAMBATAN KEMITRAAN ORANGTUA,
SEKOLAH
DAN MASYARAKAT
Kadangkala keengganan
bermitra dengan orangtua muncul dari pihak guru
atau sekolah
dikarenakan hal-hal berikut (Preedy, 1993: 202-203):
1. Guru terbiasa
melakukan pekerjaannya tanpa bantuan orangtua.
2. Guru merasa sudah
cukup lelah mengajari siswa, sehingga tidak lagi mau
disibukkan dengan
kegiatan kemitraan.
3. Beberapa guru
menganggap kehadiran orangtua mengancam mereka.
4. Jam kerja guru
tidak memasukkan unsur kegiatan kemitraan bersama orangtua.
5. Guru merasa isu
pentingnya pendidikan sudah disampaikan oleh pemerintah,
sehingga mereka
merasa itu sudah lebih dari cukup.
6. Guru menyadari
betapa cepatnya perubahan dan bagaimana menanggapi hal
tersebut, sedangkan
orangtua biasanya kurang sensitif terhadap hal
bersangkutan.
7. Beberapa guru
tidak tanggap tentang kenyataan orangtua yang paham
mengenai pekerjaannya
namun belum tentu paham tentang peran pendidikan.
Hambatan yang tak
kalah merintang berasal dari masyarakat, khususnya dari
kalangan minoritas
yang dicirikan dari aspek ekonomi yang biasanya berkaitan
positif dengan latar
belakang pendidikan dan status sosial. Merujuk pada Grant
(1979: 118-123),
hambatan-hambatan praktis yang sifatnya mendasar bagi kaum
minoritas untuk
berpartisipasi adalah:
1. Kurangnya
pengetahuan masyarakat
Pengetahuan tentang
kebijakan dan prosedur program kemasyarakatan
sangatlah penting
untuk terciptanya partisipasi masyarakat yang sehat.
Sayangnya, masyarakat
dengan penghasilan rendah latar belakang sebagai
kelompok minoritas
seringkali tidak menyadari informasi esensial tentnag
program. Partisipasi
masyarakat harus turut mengandung pemberian informasi
dan pemberian
kesempatan penuh kepada masyakarat untuk mengambil bagian
dalam membangun dan
melaksanakan program. Hasil pengamatan
memperlihatkan bahwa
banyak kelompok masyarakat yang tidak diberikan
informasi relevan
untuk terciptanya partisipasi yang berarti.
2. Kurang
aspiratifnya pimpinan sekolah dalam mewakili pandangan masyarakat.
Dalam konteks
pimpinan sekolah yang seyogyanya juga mewakili pendapat
masyarakat, hambatan
dapat berasal dari sikap para pimpinan sekolah itu
sendiri yang memiliki
pandangan pribadi terhadap hal-hal seperti diskrimanatif
paternalistik, bias
gender, dan lain sebagainya. Selain itu ada persoalan teknis
seperti jadwal
pertemuan yang diumumkan secara terbatas sehingga kurang
dapat diakses oleh
orangtua khususnya yang berlatarbelakang ekonomi rendah.
Hambatan lain juga
bersumber dari sikap acuh tak acuh sekolah terhadap
pendapat kelompok
lainnya di luar pengurus sekolah. Untuk itu anggota
masyarakat perlu
didorong untuk membangun kemandirian dan kepercayaan
diri dalam rangka
meningkatkan daya tawar dengan para pegawai sekolah.
3. Kurangnya sumber
daya keuangan
Pertemuan antara
pihak sekolah dan orangtua atau masyarakat sering diwarnai
dengan kurangnya
pendanaan. Bagi kalangan berpenghasilan rendah,
menghadiri pertemuan
di sekolah tidak menjadi prioritas karena adanya biaya
transportasi. Dalam
hal ini sebaiknya kelompok kemitraan memfasilitasi hal ini
dengan mengandalkan
pada kas mandiri. Kalaupun belum mampu, maka perlu
ditempuh alternatif
media lainnya, seperti bulletin atau surat pemberitahuan.
Bagaimanapun, para
orangtua dan masyarakat yang berkepentingan terhadap
sekolah pada umumnya
adalah warga negara pembayar pajak, sehingga
menjadi hal yang
wajib untuk memperlakukan mereka sedemikian rupa.
Didasarkan pada hasil
penelitian, terdapat lima strategi dalam rangka
melibatkan orangtua
dan masyarakat, yakni sebagai berikut:
1. Meminta
partisipasi orangtua dalam bentuk yang sesederhana mungkin seperti
sumbangan barang dan
tenaga.
2. Membuat jurnal
resiprokal antara sekolah dan orangtua. Jurnal tidak hanya
dalam bentuk tertulis
seperti biasanya ditemui namun juga dalam bentuk
gambar yang
disesuaikan dengan dunia anak. Isi jurnal mengenai materi yang
telah dipelajari dan
bagaimana tingkat penguasaannya. Setiap akhir pekan
siswa membawa pulang
jurnal tersebut untuk diperlihatkan kepada orangtua.
Orangtua pun
menuliskan tanggapannya di jurnal tersebut. Adanya jurnal
tersebut memungkinkan
orangtua yang tidak punya cukup waktu ke sekolah
tetap dapat
berpartisipasi.
3. Menyelenggarakan
program pendampingan oleh orangtua. Contohnya orangtua
berperan menjadi
mentor pada anak kelas enam. Mereka datang sedikitnya
seminggu sekali dan
pada saat jam-jam bebas. Tidak hanya membantu secara
akademik, mentoring
turut memberikan saran kepada siswa dalam
mengorganisasikan
kegiatan akademik dan menjalani hubungan sosial.
4. Program pelibatan
masyarakat. Sekolah berinisiatif menghubungi lembagalembaga
yang sekiranya
relevan dengan program sekolah. Sekolah harus dapat
memberikan gambaran
keuntungan yang akan diraih lembaga bersangkutan
jika bermitra dengan
sekolah.
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan di atas, dapat diperingkas bahwa
tantangan serta
hambatan kemitraan tidak hanya berasal dari masing-masing pihak
mitra, namun juga ada
yang bersifat teknis dan dipengaruhi lingkungan. Begitu
luasnya kontribusi
sekolah terhadap kemajuan suatu masyarakat mengakibatkan
begitu besarnya juga
jaringan yang harus dibuat. Dengan demikian dapat pula
ditarik pemahaman
akan pentingnya komunikasi dalam menjalin kemitraan.
KONSEP
DASAR KOMUNIKASI
Komunikasi adalah
tindakan yang sehari-hari kita lakukan. Dalam konteks
sederhana, komunikasi
adalah proses penyampaian pesan dari individu satu ke
individu lain.
Mengkaji tentang komunikasi yang dilakukan lembaga atau
organisasi, dikenal
dua macam komunikasi ditinjau dari sasarannya, yakni
komunikasi internal
dan eksternal. Komunikasi Humas adalah jenis yang
tergolong ke dalam
komunikasi eksternal.
Proses
Komunikasi
Ditilik dari sudut
etimologi, komunikasi yang diadopsi dari kata bahasa
Inggris “communication”
berasal dari istilah latin ”communicare”. Astrid dalam
Miftah thoha (1983:
108) memberikan definisi terhadap istilah “communicare”
sebagai
berpartisipasi, memberitahukan, dan atau menjadikan milik bersama.
Dalam bahasa Inggris
“communicare” mengalami perubahan bentuk menjadi
“common”.
Proses komunikasi
sebagaimana disadur dari gambaran yang dikemukakan
oleh Robbins, (2005:
300) adalah sebagai berikut:
Komunikator
Pesan yang
disampaikan
Pesan di‐
Media/saluran
Pesan
diterima
Pesan didecoding
hambatan
Umpan balik
Komunikan
Gambar 1. Proses
Komunikasi
Pesan yang akan
disampaikan oleh komunikator sebelumnya telah diproses
melalui sebuah
tahapan yang disebut encoding. Proses ini adalah tahapan
pengubahan pesan
melalui bentuk-bentuk simbol atau bahasa yang dikehendaki
komunikator. Itulah
sebabnya pesan tidak selamanya berwujud dalam kata verbal,
karena terdapat pula
formulasi pesan berupa non-verbal, misal bahasa tubuh.
Bahkan seorang
pendidik dari Amerika bernama Gwen Nyhus Stewart (2005)
menyatakan bahwa sesungguhnya
pesan terbagi tidak hanya atas verbal dan
nonverbal namun juga
simbolik. Contoh simbolik sebagaimana dimaksud Stewart
antara lain mobil
yang kita kendarai dan pakaian yang kita kenakan.
Media atau saluran
tidak hanya diartikan sebagai alat komunikasi berupa
instrumen seperti
surat, telepon, dan internet, melainkan dapat diartikan sebagai
tempat atau bentuk
komunikasi, contoh: rapat. Sampainya pesan kepada penerima
atau komunikan
selanjutnya di-decoding. Decoding adalah interpretasi terhadap
pesan yang diterima.
Semakin interpretasi oleh komunikan sama dengan maksud
komunikator, akan
semakin efektif-lah sebuah proses komunikasi. Adapun
tanggapan atau umpan
balik hanya dimungkinkan terjadi jika komunikasi
dilakukan tidak
searah. Tidak dapat diabaikan adanya hambatan yang dapat
berakibat kurang
efektifnya komunikasi. Dari penjelasan diatas dapat ditarik
pemaknaan terhadap
komunikasi sebagai proses penyampaian informasi dan
pengertian baik
dengan menggunakan bahasa verbal, nonverbal maupun simbolik
dari satu pihak ke
pihak lainnya.
Komunikasi mengandung
empat unsur fungsi sebagaimana dijelaskan oleh
Robbins (2005: 300),
yakni sebagai alat kendali, alat motivasi, alat ekspresi
emosional, dan alat
penyampai informasi
Bentuk
Komunikasi
Dari segi cara
penyampaian, terdapat dua bentuk komunikasi, yaitu verbal
dan nonverbal.
Pendapat tambahan kiranya bisa memperkaya khasanah kita, yakni
adanya bentuk
komunikasi ketiga; simbolik. Wujud komunikasi bentuk ini antara
lain pakaian yang
kita kenakan dan makanan yang kita makan. Namun uraian ini
hanya akan membahas
tentang dua bentuk komunikasi; verbal dan nonverbal.
Komunikasi verbal
mengambil bentuk baik dalam komunikasi oral dan
komunikasi tertulis.
Komunikasi tertulis tidak hanya memuat bentuk tulisan
namun juga gambar,
angka, atau simbol. Kita menjumpai bentuk ini antara lain
dalam ceramah dan
laporan tertulis.
Bentuk komunikasi
kedua yang kadang membutuhkan interpretasi lebih
dalam adalah
komunikasi nonverbal. Gibson, dkk ( 2003: 416) mendefinisikan
bentuk komunikasi ini
sebagai pesan yang dieskpresikan dengan gerak tubuh,
mimik wajah, gerakan
tangan dan mata. Masih menurut Gibson, dkk (2003: 416),
kedudukan komunikasi
nonverbal sama pentingnya dengan komunikasi verbal.
Sayangnya tidak semua
orang memiliki bahasa nonverbal yang sama.
Biasanya itu
tergantung pada asal daerah atau budaya. Dengan kata lain
komunikasi nonverbal
lebih memudahkan terjadinya kesalahan interpretasi oleh
komunikan jika ia
tidak memiliki latar belakang budaya yang sama dengan
komunikator. Contoh
salah satu ungkapan stress bagi orang Amerika adalah
dengan menarik rambut
ke belakang. Ungkapan ini boleh jadi tidak ditangkap
sebagaimana mestinya
oleh orang dari negara lain.
Jalur
Komunikasi
Disamping klasifikasi
verbal dan nonverbal, komunikasi dapat dibagi dari
sisi jalur, yakni
formal dan informal. Komunikasi formal selalu berpijak pada alur
pembagian tugas atau
struktur organisasi, sedangkan komunikasi informal
sebaliknya.
Komunikasi formal dilakukan pada saat rapat, pertanggungjawaban
tugas, dan koordinasi
dengan rekan sekerja baik dalam bentuk oral maupun
tertulis. Adapun
komunikasi informal mengambil tempat secara lebih luwes, dan
keberadaanya sama
penting dengan komunikasi informal.
Dalam terminologi
komunikasi informal, terdapat istilah grapevine, yaitu
bentuk alur
komunikasi yang tidak terikat pada saluran formal. Melalui alur
grapevine
inilah, rumor dapat dengan mudah menyebar. Tidak semua orang
memandang grapevine
sebagai hal yang buruk, karena dengan kecerdikan manajer
justru ia dapat
menjadi sarana komunikasi yang akhirnya menghasilkan informasi
penting bagi
organisasi.
Media
Komunikasi
Betapapun canggihnya
suatu teknologi komunikasi, keputusan
menggunakan sebuah
media tentunya berprioritas kepada kebutuhan dan
kemampuan, bukan
sekedar tren. Lengel dan Daft (1996) telah melakukan
penelitian mengenai
kemampuan media dalam berperan sebagai jembatan
komunikasi dalam
organisasi (Robbins, 2005: 314). Gambaran singkat hasil
penelitian ini adalah
bahwa ketepatan pilihan media atau saluran komunikasi
dapat dilihat dari
kemampuan media atau saluran tersebut dalam menyebarkan
informasi secara
simultan, kapasitas dalam memberikan tanggapan secara cepat,
dan tingkat
personalitas, yaitu sejauhmana media atau saluran memungkinkan
masing-masing orang
untuk berkomunikasi secara pribadi. Hal yang juga perlu
diperhatikan dalam
pemilihan media adalah apakah pesan yang akan disampaikan
bersifat rutin atau
sebaliknya. Semakin tidak rutinnya sebuah pesan akan semakin
terbuka peluang
adanya ambiguitas. Jika ini yang terjadi, maka lebih baik
pimpinan menggunakan
media yang semaksimal mungkin memperjelas pesan
yang dimaksud.
Hambatan
Komunikasi
Berikut ini merupakan
pendapat Gibson, dkk (2003: 427-430) tentang
penyebab terhambatnya
komunikasi. Penghalang terciptanya komunikasi yang
efektif dapat muncul
dari perbedaan mind set atau persepsi. Penyebab lainnya
adalah cara
mendengarkan yang salah karena lebih banyak dipengaruhi persepsi si
komunikan, yang kelak
berakibat juga pada tanggapan atau pemaknaannya
terhadap pesan yang
disampaikan. Penghambat komunikasi efektif selanjutnya
adalah kredibilitas
nara sumber atau komunikan yang diragukan, masalah bahasa,
kesengajaan dalam
menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui pihak
lain, bahkan juga
perbedaan status. Penyebab terhambatnya komunikasi bahkan
adakala merupakan
hasil bentukan lingkungan fisik, seperti keadaan ruang.
Membangun
Komunikasi Efektif
Komunikasi yang
efektif ditandai adanya kesepahaman antara komunikator
dengan komunikan.
Sejalan dengan pendapat Gibson, dkk (2003: 421), tindakan
yang dapat dilakukan
adalah melakukan tindaklanjut, meregulasi alur informasi,
mengoptimalkan
kegunaan tanggapan, berempati pada bawahan, melakukan
repetisi, mendorong
rasa saling percaya, mengirim pesan pada waktu yang tepat,
menyederhanakan
bahasa, dan mendengarkan dengan lebih efektif.
PENUTUP
Atas apa yang telah
diuraikan dapat dipetik beberapa hal yang kiranya
relevan dengan
keadaan sekeliling kita. Kemauan bermitra bukan menjadi
dominasi dari salah
satu pihak, melainkan hendaknya dimiliki secara merata baik
oleh sekolah,
orangtua, maupun masyarakat. Ketika suatu komunitas memutuskan
membentuk kemitraan,
maka perlu dipahami arti penting peran masing-masing
pihak, kesepahaman
dalam pencapaian tujuan, dan mampu mengenal secara akrab
keadaan lingkungan
sekitar. Tanpa mengabaikan semangat komunitarian,
komunitas kemitraan
dalam dunia pendidikan juga hendaknya dilaksanakan secara
profesional yang
diwujudkan dengan adanya prinsip akuntabilitas. Paling tidak
pihak sekolah sebagai
inisiator dalam hal ini memahami juga dengan baik prinsip
dasar komunikasi,
karena kunci dari terbangunnya kemitraan adalah komunikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar