Jumat, 28 Oktober 2011

Berbahaya Penerapan Ranking di Sekolah


 7 Resiko Berbahaya Penerapan Ranking di Sekolah

Semua sekolah di Indonesia menerapkan ranking pada siswanya. Rangking diyakini oleh sekolah sebagai salah satu metode penilaian siswa. Rangking dipakai sekolah untuk memberikan evaluasi akhir pembelajaran. Namun, dibalik itu semua penerapan rangking telah membuat banyak siswa di Indonesia mengalami berbagai resiko yang berbahaya. Berikut ini 7 resiko penerapan rangking di sekolah.

1. Dalam satu kelas yang terdiri dari 40 siswa, hanya 10 orang yang berbahagai dengan sistem rangking. Diantara yang 10 anak, hanya terdapat 4 anak yang sangat bergembira. Selebihnya (antara 30 - 36 anak) mengalami kekecewaan. Kekecewaan ini akan mereka pendam selama bersekolah. Dan tahukah jika ada anak yang stres karena sistem rangking ini. Perasaan malu dan minder akan menghantui anak yang mendapat rangking 10 terbawah. Apa yang terjadi jika itu terjadi pada Anda?
Apa yang Anda rasakan jika itu terjadi pada anak yang Anda sayangi?

2. Anak yang tidak mendapat rangking, selain mendapat malu, terkadang juga mendapat marah orangtua. Di sekolah ia mendapat marah guru, mendapat ejekan teman, sementara di rumah mendapat marah orangtua. Tak akan ada orangtua yang anaknya mendapat rangking bawah yang bahagia. Orangtua akan memarahi anaknya yang tidak mendapat rangking. Duh kasihan anak-anak.

3. Metode rangking tidak berdasar, dan tidak manusia karena membandingkan satu anak dengan anak yang lain. Walau tidak berniat seperti itu, namun pada kenyataannya sistem rangking telah membandingkan satu dengan yang lain. Saya punya keyakinan 100% (mungkin lebih) Anda yang membaca tulisan ini sangat tidak suka jika dibandingkan dengan saudara kandung Anda, atau dengan orang lain. Jika Anda tidak suka, mengapa Anda membandingkan anak-anak?

4. Setiap anak itu unik. Setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangan di bidang masing-masing. Sangat tidak adil jika guru membandingkan anak hanya dalam beberapa hal, yang dengan beberapa hal itu anak telah dibandingkan harga dirinya.

5. Pada keumuman, anak yang ranking atas akan selalu berada di kelompok rangking atas. Demikian juga anak yang berada rangking bawah akan selamanya berada di kelompok itu. Hal itu disebabkan karena sistem rangking hanya melihat dalam beberapa sisi kecerdasan saja, yaitu keerdasan berhitung dan bahasa. Sementara kecerdasan lainnya yang masih banyak tidak dapat diukur dengan sistem rangking.

6. Sistem rangking merupakan hasil perhitungan evaluasi kuantitatif (angka). Penilaian kuantitaif ini yang “baru” bisa dilakukan guru, karena nilai angka ini mudah dilakukan. Banyak guru yang belum “mahir” dalam penilaian kualitatif yang deskriptif. Angka 8 dalam raport, atau rangking 1 masih berupa sesuatu yang abstrak. Guru belum bisa menerangkan apa arti rangking 1. Dan anak pun masih belum memahami apa makna rangking 1, selain nilainya di raport melebihi teman-temannya.

7. Di negara lain, umumnya tidak ada rangking. Karena guru disana meyakini setiap anak memiliki kelebihan masing-masing yang berbeda. Raport di luar negeri bahkan hanya sebatas deskripsi karangan guru tentang kelebihan anak.
Kelebihan dalam bidang yang diterlihat dan teramati oleh guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar