Senin, 26 Mei 2014

Menata Niat dalam Mendidik

Menata Niat dalam Mendidik


Berbagai tawaran kurikulum pendidikan mulai dari tingkat SD/MI sampai dengan MA/SMA silih berganti dalam rentang sepuluh tahun terakhir telah dilakukankan oleh pemerintahan negara tercinta ini, entah apa yang ada dalam benak pemerintah, mulai dari KBK (kurikulum berbasik kompetensi), KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) dan entah pemerintah merancang nama kurikulum terbaru apa lagi ini.

Kurikulum yang mulai diujipublikkan oleh pemerintah melalui media-media online beberapa hari terakhir ini sungguh sangat jauh api dengan panggang. Dengung perubahan dan pem-plagiatan dari negara-negara maju itu hanya laksana Galigong (semacam sasando) penduduk sekitar kami, indah mengalun suaranya namun sulit untuk melakukan.

Bagi sebagian besar pendidik di pedalaman Indonesia seperti kami, mengajar serta mendidik anak bangsa adalah pengalaman yang luar biasa, dimana pengalaman ini tidak akan pernah kita jumpai maupun dapat kita beli di apotik terkenal sekalipun. Mendidik anak-anak yang lingkungannya tidak mendukung, geografisnya kurang bersahabat, alam yang setiap hari kadang sopan kadang kasar, ketika proses belajar mengajar suara nyamuk serta anjing seolah menjadi alunan musik kitaro. Semua serasa indah jika kita memang nawaitunya kenceng.

Hal itupulalah yang menguatkan niat kami menerjunkan diri mengabdi ilmu pada dusun terpencil ini, walaupun sangat kecil sumbangsihnya, setidaknya telah mampu merubah paradigma masyarakat sekitar Madrasah tempat kami berjuang selama ini dari mindseat memburu ekonomi menjadi pencetak ekonom ulet tahan banting dan tahan cuaca (hahaha). Disinilah peran penting yang harus diingat, pendidik pada prinsipnya adalah Agent Of Change dalam masyarakat, tanpa harus meninggalkan segala macam keruwetan administrasi keakedemikan, pendidik semestinya mampu merubah keadaan sekitar. Tidak usah diukur berapa prosentasenya, karena Nabi Nuh saja hampir seratus tahun belum berhasil mengajak satupun umatnya untuk bersama-sama menyembah Allah SWT.

Di salah satu lembaga pendidikan dasar di Kota Ledere Bojonegoro yang baru satu tahun saya masuki setelah hampir 12 tahun berjuang mencetak generasi bangsa di daerah terpencil, kami bersama dewan guru yang rata-rata berumur 25 tahun mencoba terobosan baru tanpa harus mengubah “warning” kurikulum pemerintah. Kalau dikebanyakan Sekolah dasar/Madrasah ibtidaiyah anak didiknya masuk jam 7 pagi, maka di madrasah ini kami melakukannya lebih pagi, hal bagusnya dipastikan tidak akan ada anak didik yang terlambat masuk kelas. Ini karena madrasah ini memberlakukan Pembiasaan Karakter Aswaja (PKA) pada pukul 06.30, sehingga kalaupun ada anak didik yang tertinggal dapat dipastikan yang terlambat hanya pada PKA-nya bukan pada masuk kelasnya. Selain itu juga kami memberikan satu buah pin kepada anak didik yang setiap hari sebelum masuk kelas dicek oleh sie kesiswaan, hal sepele tersebut bertujuan secara tidak langsung mengajarkan/memberikan pendidikan tanggung jawab terhada anak didik.jika dari hal sepele ini saja mereka bisa kontinyu bisa ditebak karakter-karakter lain akan mudah untuk dicapai.

Banyak hal sepele yang sudah berjalan dari tahun ke tahun yang dilakukan tanpa sengaja oleh praktisi pendidikan/guru yang sekarang mulai dilupakan oleh pemerintah, memberi salam kepada guru yang masuk kelas, melepas sepatu sebelum masuk kelas pada tempatnya tanpa di suruh, masuk kelas dengan didahuli ucapan salam ada maupun tidak ada orang dalam kelas, beli jajan dan memakannya dengan duduk terlebih dulu. Hal-hal seperti ini ternyata  oleh kemendiknas bahkan oleh kemenag sepertinya belum dianggap urgen buktinya banyak guru lebih bingung ketika diminta melengkapi data maupun administrasi yang ada kaitannya dengan usula baru, validasi data.

Perlu disadari bahwa pendidikan itu tidak semata-mata soal kurikulum, pendidikan itu tidak hanya tentang buku maupun silabus, pendidikan sebenarnya seberapa mampu kita merubah anak didik kita/ orang-orang yang kita didik berubah, berubah dari prilaku buruk menjadi lebih baik juga jangan hanya mementingkan waktu jam tatap muka 24 jam seminggu. Pendidikan itu butuh roh, dan roh pendidikan itu adalah niat kenceng sang oemar bakri/guru itu sendiri. Dalam setiap proses pembelajaran diperlukan peranan lebih dari seorang guru, karena sangat singkatnya waktu anak didik di lembaga pendidikan/sekolah. Anak didik cenderung lebih mempercayai perkataan gurunya katimbang orangtuanya sendiri, jika guru mampu memuaskan dahaga pengetahuan yang tidak bisa dijelaskan/didapatkan anak didik dari lingkungannya selama ini.

Niat menjadi guru jangan setengah-setengah, jangan karena sertifikasi, jangan karena TFG (tunjangan fungsional guru). Menjadi guru adalah anugrah tiada tara dari sang Kholiq, dariNya lah kita mendapat kehormatan tertinggi ini, sebagaimana dalam Al-Quran “Alloh mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu dengan beberapa derajat” Jika yang menciptakan Bumi dan Langit saja sudah menjamin derajat yang sangat istimewa seperti itu, masihkan pantas kita menjadi guru yang ketika Tunjangan sertifikasi belum cair, TFG macet, Gaji minim,  kemudian kita malas datang pagi ke sekolah,malas membaca demi anak didik kita, malas kreatif untuk kecemerlangan otak hebat anak didik kita, masihkah pantas guru yang di gugu dan di tiru segala tindak lakunya iri dengan teman seperjuangannya, yang satu lembaga maupun beda lembaga.

Bapak ibu guru yang kami cintai, mari bersama-sama menata niat kenceng kita dalam dunia pendidikan dimanapun kita berada semoga anak didik kita kelak lebih baik dari kita semua, jangan pernah menyerah karena orang yang menyerah adalah orang yang tidak pernah sukses, jadikan sebuah kegagalan sebagai jejak langkah kaki kita, yang memang harus ditinggal tanpa harus di injak ulang oleh kaki yang sama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar